Peran Cyberspace Sebagai Ruang Budaya Manusia
Apakah
ruang cyber dan bagaimana caranya ruang itu bisa berhubungan dengan sastra,
film, musik, seni, gaya hidup, politik, dan seksualitas dalam dunia postmodern
(tepatnya abad informasi)? Jawabannya adalah resume ini. Pertama-tama kita cari
tahu wilayah terminologisnya. Kata "ruang cyber," diciptakan oleh
penulis fiksi ilmiah William Gibson pada tahun 1984, dalam novelnya
Neuromancer. Ruang itu menurut pendapat Gibson mengacu pada keberadaan dunia
virtual yang dibuat oleh teknologi komunikasi, yang kemudian kita kenali
sebagai internet. Karena ruang ini adalah konsep filsafat, dan bukan penjelasan
ilmiah dari suatu fungsi benda, maka jelas ungkapan ini mendapatkan tempat
dalam debat dunia filsafat.
Perdebatan
tentang hal ini berputar pada wilayah modus baru akan pengalaman humanitarian,
entah di sekitar masalah-masalah pornografi pada stereotip internet, hacking,
ras dan gender, hak kebebasan berpendapat (UU ITE di Indonesia), kebebasan
informasi, dan hak cipta. Sarjana sastra berdebat tentang bagaimana komputer
akan mengubah karya sastra, dengan jalan editing tekstual, model membaca dan
menulis, dan sifat sastra, yang terjebak dunia online. Novelis dan pembuat film
mencoba membayangkan masa depan sebuah masyarakat kabel, sementara budaya
perusahaan berusaha untuk mendapatkan duit pada halaman World Wide Web.
Diskursus
selanjutnya menambahkan kemunculan hal baru yang tidak disangkakan (bahkan
tidak terkendali) karena diskursus dunia ini adalah diskursus mengenai
eksplorasi budaya yang muncul dari ruang itu sendiri. Batas antara kehidupan
riil manusia dan kehidupan buatan tidak bisa dibedakan lagi. Film yang
menggunakan cyborg dengan realitas nyata, semua sama-sama imitasi, ungkap Jean
Baudrillard. Semua berada dalam simulakra, atau berada dalam suatu konsep andai
mengandai. Pada akhirnya tidak ada hitungan nyata, karena orang-orang sibuk
berspekulasi di internet tentang peran mereka sendiri di masyarakat; yang lebih
cenderung mengetengahkan hypertext dalam bentuk fiksi. Orang beraksi adalah
orang menulis, semisal menulis di Facebook, atau mengomentari halaman Youtube.
Inilah zaman postmodernisme, dan masa depan mengabur pada bahasa hypertext.
Tidak
ada keahlian komputer yang diperlukan. Anda hanya perlu akses ke World Wide
Web. Tekniknya pun bermacam-macam, bisa lewat ponsel seharga dua keranjang
bakwan. Memang sebegitu murah untuk bisa menggunakan internet bahkan untuk
mereka yang kurang memiliki pengalaman sebelumnya. Setiap siswa bila tidak
eksis di internet dia tidak pernah ada di kelas. Dunia semakin saling
mendekati, dan saling memberitahu satu sama lain.
Siapa
Tahu? "Siapa tahu," ujar Jean-Marie Gustave Le Clezio,
ketika menerima hadiah Nobel pada 2008. Jika Internet pernah ada pada masa itu,
barangkali plot kriminal Hitler tidak akan pernah sukses. Menyadari kekuatan
itu, demonstran Mesir Pro-Demokrasi merasa terinspirasi untuk menggalang
kekuatan lewat situs jejaring sosial.
Setelah
terjadi sebuah dramatic event, munculah situs jejaring sosial bernama Facebook.
Media tersebut dapat menjaring lebih dari 300 juta manusia. Sekarang, revolusi
bisa lewat kabel. Maka ungkapannya bukan lagi, "Who knows?" namun,
"What now?" ketika manusia terhubung dengan jutaan manusia lainnya,
dalam waktu yang singkat. Media massa dalam pandangan semacam itu tidak harus
berangkat dari suatu ideologi, cukup Login - Dunia yang lebar pun akan
terjaring. Camkanlah pula bahwa Dunia mengecil dengan segala konsekuensinya,
"its a small village", akibat teknologi Ungkap Marshall McLuhan .
Semua
ini disponsori oleh Vannevar Bush, Ted Nelson dkk, dari CERN -Pusat Riset
Nuklir Eropa. Merekalah yang dengan bangga memperkenalkan kapasitas ruang <em>cyber
</em>pertama yang digunakan massif oleh seluruh penduduk bumi, dan di
namakan: World Wide Web -- sebuah tools komunikasi yang tidak lagi mengenal
batas dan jarak. Sebuah dunia baru, yang memaksimalkan eksporasi imajinasi
terhadap wilayah yang belum diketahui (Virtual Reality) , Erick P. Bucy
mengatakan:
"The
web has opened up new cultural expressions" .Web telah membuka gaya baru
dalam hal ekspresi kultural. Meskipun berkompetisi dengan bentuk media lain
untuk merajah perbendaharaan yang ada di bumi, perbendaharaan yang tidak akan
pernah bergantung dari teknologi di mana teknologi tidak lagi menarik perhatian
manusia. Tanpa diragukan lagi, ketidakgantungan dari teknologi ini, tidak lain
karena web sendiri lebih berharga dari sisi nilai dan isi yang ditawarkan,
seberapapun kecepatan teknologi."
Ini
bagus atau tidak? Barangkali inipun merupakan akibat, yang akan menjadi
penyebab dari berakibatnya sesuatu. Maksudnya ruang ini kan tools baru
komunikasi yang tentu saja merupakan revisi dari bentuk tools komunikasi yang
telah ajeg seperti televisi, radio, telepon selular, dan alat komunikasi massa
lain. Ada ketergantungan yang sama sebagaimana ketergantungan alat komunikasi
elektronik lainnya. Yakni sumber daya terbatas.
Verifikasikan Diri Anda
Abad
informasi barangkali telah menemukan ultimatnya pada sebentuk web, dan
pengayaan ultimat canggih ini, ternyata merevisi Abad informasi. Setelah
diperkenalkannya sebuah piranti bernama "Verifikasi". Di sini yang
diverifikasi adalah identitas pengguna web. Mengingat penggunaan verifikasi
yang terhitung itu, hanya memberlakukan satu identitas acak. Maka
dimungkinkanlah orang memiliki banyak identitas dalam web. Suatu hal yang di
dunia nyata, dikategorikan sebagai penyakit sosial sekelas psikopat bernama split
personality, berkepribadian ganda, atau disebut dengan nama devian: penipu,
sehingga jelas orang tidak ingin melakukannya. Adapun para pengguna web
melakukannya, menduplikasi identitas mereka dengan bermacam motif mengikuti
kebutuhan dan kecenderungan mereka sendiri, tanpa harus takut dicap tidak
tertib, curang, legal atau tidak legal. Mungkinkah terjadi identitas semu dan
artifisial dalam internet justru akan menjadi identitas murni dari tubuh sosial
(yang dikenali sebagai habitus) yang sebenarnya. Bahwa identitas web lebih
parole dari identitas dalam dunia nyata? Ketakutan ini sudah pernah ditanyakan
pula oleh Erick P. Bucy dalam Living in The Information Age kembali
menambahkan:
"Saya
yakin kehidupan komputer berada dalam masalah. Maksudnya, komputer begitu
unggulnya, sampai-sampai semua bergantung padanya. Dari masalah finansial,
humanisme, masalah matematika yang berpuluh tahun tidak dapat diselesaikan.
Ketergantungan terhadap alat komunikasi yang murah dan sebagainya."
Sifat
ketergantungan adalah 'penyakit' kedua, setelah 'penyakit' melipatgandakan
identitas diri. Namun jika sebenarnya ini bukan penyakit. Bukan deviansi,
seperti apa yang dijustifikasikan secara simplitis (karena setiap orang harus
mengikuti sistem nilai orang kebanyakan seperti saya). Jangan-jangan ini
kondisi kodrati yang sebenarnya?
Ruang cyber sebagaimana Barlow@eff.org
Sepertinya
benar bahwa ruang ini bisa menjadi ruang kodrati yang sebenarnya. Karena
terdiri dari transaksi, hubungan, dan pikiran itu sendiri, tersusun seperti
gelombang berdiri dalam jaringan komunikasi kita. Dunia kita adalah dunia yang
bersifat di mana-mana dan tidak ada yang mati dalam jaringan, kecuali tubuh
mereka mati. Kematian sendiri bukankah tidak berpikir lagi, jadi selagi Anda
login semacam internet, Anda adalah hidup. Barlow membuat manifesto,
menurutnya:
"Kami menciptakan dunia yang semua bisa masuk tanpa hak istimewa atau prasangka diberikan oleh ras, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, atau tempat kelahiran. Kami menciptakan dunia di mana siapapun, dimanapun dapat mengekspresikan keyakinannya, tanpa takut dipaksa diam atau tunduk. Konsep hukum dari properti Anda, ekspresi, identitas, gerakan, dan konteks tidak berlaku bagi kami. Mereka semua didasarkan pada materi, dan tidak ada masalah di sini.
Identitas Anda di nilai tidak memiliki tubuh, sehingga, tidak seperti Anda, mereka tidak dapat memperoleh permintaan dengan paksaan fisik. Segala kepentingan diri, dan kesejahteraan bersama, akan muncul. Identitas dapat didistribusikan di banyak yurisdiksi. Dan ditambahkan oleh pamungkas. Barlow berpendapat:
"Kita akan menciptakan sebuah peradaban pikiran di ruang cyber ini. Mungkin lebih manusiawi dan lebih adil dari dunia di mana pemerintah Anda berada."
Sebagai penutup, melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin. Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana. Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.
Ditulis Oleh :
Ichsan Perdana Putra
54413193
Daftar Pustaka
anneahira.com/cyber.htm