Monday 24 March 2014

Peran Cyberspace Sebagai Ruang Budaya Manusia

Peran Cyberspace Sebagai Ruang Budaya Manusia


     Apakah ruang cyber dan bagaimana caranya ruang itu bisa berhubungan dengan sastra, film, musik, seni, gaya hidup, politik, dan seksualitas dalam dunia postmodern (tepatnya abad informasi)? Jawabannya adalah resume ini. Pertama-tama kita cari tahu wilayah terminologisnya. Kata "ruang cyber," diciptakan oleh penulis fiksi ilmiah William Gibson pada tahun 1984, dalam novelnya Neuromancer. Ruang itu menurut pendapat Gibson mengacu pada keberadaan dunia virtual yang dibuat oleh teknologi komunikasi, yang kemudian kita kenali sebagai internet. Karena ruang ini adalah konsep filsafat, dan bukan penjelasan ilmiah dari suatu fungsi benda, maka jelas ungkapan ini mendapatkan tempat dalam debat dunia filsafat.

     Perdebatan tentang hal ini berputar pada wilayah modus baru akan pengalaman humanitarian, entah di sekitar masalah-masalah pornografi pada stereotip internet, hacking, ras dan gender, hak kebebasan berpendapat (UU ITE di Indonesia), kebebasan informasi, dan hak cipta. Sarjana sastra berdebat tentang bagaimana komputer akan mengubah karya sastra, dengan jalan editing tekstual, model membaca dan menulis, dan sifat sastra, yang terjebak dunia online. Novelis dan pembuat film mencoba membayangkan masa depan sebuah masyarakat kabel, sementara budaya perusahaan berusaha untuk mendapatkan duit pada halaman World Wide Web.

     Diskursus selanjutnya menambahkan kemunculan hal baru yang tidak disangkakan (bahkan tidak terkendali) karena diskursus dunia ini adalah diskursus mengenai eksplorasi budaya yang muncul dari ruang itu sendiri. Batas antara kehidupan riil manusia dan kehidupan buatan tidak bisa dibedakan lagi. Film yang menggunakan cyborg dengan realitas nyata, semua sama-sama imitasi, ungkap Jean Baudrillard. Semua berada dalam simulakra, atau berada dalam suatu konsep andai mengandai. Pada akhirnya tidak ada hitungan nyata, karena orang-orang sibuk berspekulasi di internet tentang peran mereka sendiri di masyarakat; yang lebih cenderung mengetengahkan hypertext dalam bentuk fiksi. Orang beraksi adalah orang menulis, semisal menulis di Facebook, atau mengomentari halaman Youtube. Inilah zaman postmodernisme, dan masa depan mengabur pada bahasa hypertext.

     Tidak ada keahlian komputer yang diperlukan. Anda hanya perlu akses ke World Wide Web. Tekniknya pun bermacam-macam, bisa lewat ponsel seharga dua keranjang bakwan. Memang sebegitu murah untuk bisa menggunakan internet bahkan untuk mereka yang kurang memiliki pengalaman sebelumnya. Setiap siswa bila tidak eksis di internet dia tidak pernah ada di kelas. Dunia semakin saling mendekati, dan saling memberitahu satu sama lain.

     Siapa Tahu? "Siapa tahu," ujar Jean-Marie Gustave Le Clezio, ketika menerima hadiah Nobel pada 2008. Jika Internet pernah ada pada masa itu, barangkali plot kriminal Hitler tidak akan pernah sukses. Menyadari kekuatan itu, demonstran Mesir Pro-Demokrasi merasa terinspirasi untuk menggalang kekuatan lewat situs jejaring sosial.

     Setelah terjadi sebuah dramatic event, munculah situs jejaring sosial bernama Facebook. Media tersebut dapat menjaring lebih dari 300 juta manusia. Sekarang, revolusi bisa lewat kabel. Maka ungkapannya bukan lagi, "Who knows?" namun, "What now?" ketika manusia terhubung dengan jutaan manusia lainnya, dalam waktu yang singkat. Media massa dalam pandangan semacam itu tidak harus berangkat dari suatu ideologi, cukup Login - Dunia yang lebar pun akan terjaring. Camkanlah pula bahwa Dunia mengecil dengan segala konsekuensinya, "its a small village", akibat teknologi Ungkap Marshall McLuhan .

     Semua ini disponsori oleh Vannevar Bush, Ted Nelson dkk, dari CERN -Pusat Riset Nuklir Eropa. Merekalah yang dengan bangga memperkenalkan kapasitas ruang <em>cyber </em>pertama yang digunakan massif oleh seluruh penduduk bumi, dan di namakan: World Wide Web -- sebuah tools komunikasi yang tidak lagi mengenal batas dan jarak. Sebuah dunia baru, yang memaksimalkan eksporasi imajinasi terhadap wilayah yang belum diketahui (Virtual Reality) , Erick P. Bucy mengatakan:

     "The web has opened up new cultural expressions" .Web telah membuka gaya baru dalam hal ekspresi kultural. Meskipun berkompetisi dengan bentuk media lain untuk merajah perbendaharaan yang ada di bumi, perbendaharaan yang tidak akan pernah bergantung dari teknologi di mana teknologi tidak lagi menarik perhatian manusia. Tanpa diragukan lagi, ketidakgantungan dari teknologi ini, tidak lain karena web sendiri lebih berharga dari sisi nilai dan isi yang ditawarkan, seberapapun kecepatan teknologi." 

     Ini bagus atau tidak? Barangkali inipun merupakan akibat, yang akan menjadi penyebab dari berakibatnya sesuatu. Maksudnya ruang ini kan tools baru komunikasi yang tentu saja merupakan revisi dari bentuk tools komunikasi yang telah ajeg seperti televisi, radio, telepon selular, dan alat komunikasi massa lain. Ada ketergantungan yang sama sebagaimana ketergantungan alat komunikasi elektronik lainnya. Yakni sumber daya terbatas.

Verifikasikan Diri Anda


     Abad informasi barangkali telah menemukan ultimatnya pada sebentuk web, dan pengayaan ultimat canggih ini, ternyata merevisi Abad informasi. Setelah diperkenalkannya sebuah piranti bernama "Verifikasi". Di sini yang diverifikasi adalah identitas pengguna web. Mengingat penggunaan verifikasi yang terhitung itu, hanya memberlakukan satu identitas acak. Maka dimungkinkanlah orang memiliki banyak identitas dalam web. Suatu hal yang di dunia nyata, dikategorikan sebagai penyakit sosial sekelas psikopat bernama split personality, berkepribadian ganda, atau disebut dengan nama devian: penipu, sehingga jelas orang tidak ingin melakukannya. Adapun para pengguna web melakukannya, menduplikasi identitas mereka dengan bermacam motif mengikuti kebutuhan dan kecenderungan mereka sendiri, tanpa harus takut dicap tidak tertib, curang, legal atau tidak legal. Mungkinkah terjadi identitas semu dan artifisial dalam internet justru akan menjadi identitas murni dari tubuh sosial (yang dikenali sebagai habitus) yang sebenarnya. Bahwa identitas web lebih parole dari identitas dalam dunia nyata? Ketakutan ini sudah pernah ditanyakan pula oleh Erick P. Bucy dalam Living in The Information Age kembali menambahkan:

     "Saya yakin kehidupan komputer berada dalam masalah. Maksudnya, komputer begitu unggulnya, sampai-sampai semua bergantung padanya. Dari masalah finansial, humanisme, masalah matematika yang berpuluh tahun tidak dapat diselesaikan. Ketergantungan terhadap alat komunikasi yang murah dan sebagainya."

     Sifat ketergantungan adalah 'penyakit' kedua, setelah 'penyakit' melipatgandakan identitas diri. Namun jika sebenarnya ini bukan penyakit. Bukan deviansi, seperti apa yang dijustifikasikan secara simplitis (karena setiap orang harus mengikuti sistem nilai orang kebanyakan seperti saya). Jangan-jangan ini kondisi kodrati yang sebenarnya?

Ruang cyber sebagaimana Barlow@eff.org


     Sepertinya benar bahwa ruang ini bisa menjadi ruang kodrati yang sebenarnya. Karena terdiri dari transaksi, hubungan, dan pikiran itu sendiri, tersusun seperti gelombang berdiri dalam jaringan komunikasi kita. Dunia kita adalah dunia yang bersifat di mana-mana dan tidak ada yang mati dalam jaringan, kecuali tubuh mereka mati. Kematian sendiri bukankah tidak berpikir lagi, jadi selagi Anda login semacam internet, Anda adalah hidup. Barlow membuat manifesto, menurutnya:


     "Kami menciptakan dunia yang semua bisa masuk tanpa hak istimewa atau prasangka diberikan oleh ras, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, atau tempat kelahiran. Kami menciptakan dunia di mana siapapun, dimanapun dapat mengekspresikan keyakinannya, tanpa takut dipaksa diam atau tunduk. Konsep hukum dari properti Anda, ekspresi, identitas, gerakan, dan konteks tidak berlaku bagi kami. Mereka semua didasarkan pada materi, dan tidak ada masalah di sini.

     Identitas Anda di nilai tidak memiliki tubuh, sehingga, tidak seperti Anda, mereka tidak dapat memperoleh permintaan dengan paksaan fisik. Segala kepentingan diri, dan kesejahteraan bersama, akan muncul. Identitas dapat didistribusikan di banyak yurisdiksi. Dan ditambahkan oleh pamungkas. Barlow berpendapat:

     "Kita akan menciptakan sebuah peradaban pikiran di ruang cyber ini. Mungkin lebih manusiawi dan lebih adil dari dunia di mana pemerintah Anda berada."
 
     Sebagai penutup, melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin. Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana. Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.
 
 
Ditulis Oleh :
 
Ichsan Perdana Putra
54413193
 
 

Daftar Pustaka


anneahira.com/cyber.htm