Masalah - Masalah Yang Mungkin Muncul Dalam Cyberspace
Kajian budaya atau cultural studies pertama kali muncul di Birmingham, Inggris. Salah satu perintis-nya adalah Raymond Williams. Pada perkembangan selanjutnya, kajian budaya menyebar ke Eropa. Perkembangan kajian budaya ini menjadi sangat berarti ketika kajian budaya "klasik" bertemu secara intensif dengan pemikiran postmodern. Pemikiran postmodern yang dimaksud adalah postmodernis-me sebagaimana muncul dari tradisi pemikiran kontemporer Prancis seperti Lyotard, Foucault, Derrida, Roland Barthes, dan Jean Baudrillard.
Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini. Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. singkatnya Simulacra. Realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hiperrealitas).
Menurut Mark Slouka , sebagaimana yang ditulis Astar Hadi (2005), Gambaran dalam budaya media dan cyber space telah kehilangan daya representasi. Ini berarti para konsumen budaya media massa dan cyberspace tidak lagi berkreasi karena kehilangan dialectical capacity of representation. Baudrillard menggambarkan realitas ini melalui empat tahap: ""(1) it (image) is the reflection of the basic reality, (2) it masks and pervert a basic reality, (3) it masks the absence of the a basic reality, dan (4) it bears no relation on any reality whatever: it is its own pure simalacrum.Dari keempat tahap itu, tahap kedua adalah yang paling penting (maka Baudrillard memberi aksen): gambaran bahkan mengelabui kita sehingga kita tidak sadar lagi akan ketidakhadirannya. Gambaran dalam media massa dan cyber seperti televisi,ineternet tidak lagi kita pahami dalam kerangka semiotis signifier dan signified Tanda-petanda). Jarak keduanya lenyap, sehingga yang tinggal hanyalah sebuah pengalaman langsung. Artinya, kita seolah-olah tidak sedang menghadapi image atau gambaran tentang "realitas"" itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard dengan istilah the immediate, the unsignified atau simulacrum yang berarti tiruan, imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya.
Di era milenium ketiga ini banyak kalangan merasa sangat bahagia, seolah-olah milenium ini akan membawa banyak perubahan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Hidup manusia seakan-akan lebih mudah karena peradaban tinggi (high civilization) melahirkan teknologi tinggi (high tech), komunikasi global (global communication), digitalisasi, cloning, rekayasa genetika, dan teknologi informatika. Secara perlahan tetapi pasti, para manusia milenium itu terlena dengan segala kemudahan hidup, buday a konsumsi yang serba instan membuat mereka lupa bahwa hidup yang mereka hadapi mulai kabur dan tenggelam dalam realitas semu. Dalam konteks budaya politik Indonesia hiperrealitas ini tampak dengan adanya budaya korupsi dan saling konflik antar-elite politik, carut marut pendidikan, layanan publik yang buruk, kekerasan aparat, pemogokan buruh, penyimpang-an kekuasaan, kolusi dan nepotisme. Dalam keseharian masyarakat perang isu dan simulacrum dalam tayangan media dianggap sebagai kebenaran.
Hiperrealitas berhasil mengaburkan dunia kenyataan dan dunia semu, masyarakat dunia modern tidak bisa membedakan lagi antara kebenaran nyata dan kebenaran semu. Masyarakat kini sedang menanti kebenaran ide Baudrillard itu, bisakah manusia menghindarkan diri dari kepalsuan dan mencari makna sejati dari semua realitas yang dihadapi? Jawabannya adalah kembali kepada diri kita masing-masing dalam memaknai realitas hidup ini. Selamat datang di dunia simulacrum. Untuk itu hadirnya buku ini bisa memotret tentang jejak langkah cyber space yang sudah bertahun-tahun memporandakan dunia melalui teknologi. Tidak adanya batas-batas sosial dalam kehidupan manusia.yang muncul dunia cyaberspace dalam kehidupan menuju titik maya.
Inilah realitas dunia yang harus kita hadapi di abad ke 21 ini, sebuah dunia lalu lintas informasi yang siap menghancurkan apa saja dan siapa saja yang tidak sanggup menerima laju percepatannya. Tidak salah bila kemudian Mark Slouka meramalkan di abad ke 21 ini adalah abad informasi.hal ini berarti bahwa siapapun yang mempunyai informasi,dialah akan mampu bertahan sekaligus berkembang. Disisi lain, semangan perubahan zaman cyberspace juga tidak hanya memberi manfaat dari dampak teknologi,akan tetapi juga menunjukkan pesona-pesona simulasi begitu dasyat terhadap masyarakat dan percepatan cyabernetik melalui fase-fase pasar global dan membuat manusia cyber manjadi victim di dunia maya. Tidak salah bila posmodernisme dalam masyarakat kapitalisme barat,seperti yang disindir kelompok postmodernisme mampu mengeser imperatif-imperatif lama dengan berbagai kejutan budaya,permainan bahasa,permainan citra, dan manupulasi kesadaran manusia dari eksistensi humanitasnya.
Dari pemetaan masyarakat cyberspace inilah kita bisa memotret kembali perpanjangan dunia internet yang telah memberi manfaat kemajuan zaman serta membunuh manusia dari dunia. Dibalik itu semua,cyberspace pada kenyataan adalah dunia yang penuh jebakan: “sekularisme”,”Atheisme”,narsisme” atau “anarkisme”. Meskipun demikian berbagai bentuk jebakan tentunya tidak menyurutkan untuk mencari jalan keluarnya. Bukan dengan jalan menolak cyberspace,akan tetapi melalui jalan tengah yang bisa dicapai,bagiamana cyberspace ini diarahkan pada masa depan yang positif fungsi dari dunia cyberspace untuk membangun peradaban umat manusia yang lebih humanitarian.
Ditulis Oleh :
Ichsan Perdana Putra
54413193
Ichsan Perdana Putra
54413193